top of page

Anak Abusive Adalah Bentuk Respon

  • Gambar penulis: Nurrani Aprilia
    Nurrani Aprilia
  • 26 Jan 2021
  • 7 menit membaca


Entah mengapa saya berani menulis hal yang tidak saya kuasai penuh. Saya bukan lulusan psikologi, namun yaa.. bisa dibilang saya memang sudah menyukai psikologi sejak remaja menuju dewasa. Namun sayangnya, saya malah masuk jurusan sosiologi. Haha, tidak disayangkan juga sih. Sama-sama ada logi-nya wkwk.


//


Jadi saya bertemu dengan seorang anak dan ibu. Ibunya mengomel anaknya nakal dan bersikap semena-mena. Kaca depan rumah rusak. Di pecah oleh sang anak. Ketika mendengar itu saya tentu kaget.


"Lho, kok sedemikian ngamuk, apakah penyebabnya" batin saya.


Saya terus mendengarkan keluhan sang ibu dengan seksama. Sang anak yang ada di depannya menangis, ibunya juga ikut menangis. Sama-sama terluka, ya saya yakin itu.


Sang ibu menceritakan keagresifan anak untuk merusak peralatan rumah. Mulai dari piring, kaca, tembok, pintu. Semua jadi sasaran saat anak marah. Saya diam terus, mikir keras.


Raut wajah sang ibu kasihan sekali, saya ikut bersedih. Mana sedang hamil, beliau mengatakan bahwa kerjaannya memang marah-marah terus. Iya, gara-gara kelakuan anak-anaknya. Kondisi ibu hamil yang demikian, membuat saya prihatin. Saya menyenyuminya dengan kecil.


Saya mendiamkan kondisi itu sebentar. Kemudian mengajak sang anak untuk berdiskusi. Saya kasih support baik-baik. Saya katakan :


"Aku yakin kamu anak yang baik" saya tersenyum tulus, mencoba membuka kejujuran sang anak.


Oiya, sebelum berdiskusi saya menggunakan metode menulis mimpi. Mengajak seorang anak kecil berbicara empat mata secara langsung bukan hal yang mudah. Alih-alih ingin membantu memecahkan masalah, malah bisa dianggap mengintimidasi.


Maka saya beri dia kertas, menyuruhnya menulis apa saja yang dia inginkan. Entah mimpi, makanan, baju, peralatan sekolah, pokoknya apa saja. Sang anak semangat sekali, senang menulis mimpi-mimpinya di kertas.


Saya kemudian membacanya, banyak ngakak. Anak kecil memang fantasinya tidak diragukan lagi, ia bagai mutiara yang tumbuh berkembang di dasar laut. Ada tentang persahabatan, keluarga hingga pasangan hidup. Iya, anak seusia sepuluh tahun sudah memiliki cita-cita bagaimana berumahtangga. Saya ketawa sekaligus heran. Hebat, memikirkan masa depan.


Yang menjadi fokus saya adalah tentang pandangan hidupnya terhadap keluarga. Saya lihat mimpinya teruntuk orang tua dan keluarganya. Cukup banyak. Seperti anak konvensional lainnya, ingin membahagiakan orangtua. Yayaya, batin saya.


Lalu saya menilik satu kalimat mimpi, "memiliki keluarga yang tidak ada rahasia".

Loh apa maksudnya? Saya simpan pertanyaan ini untuk diskusi nanti.


Hingga akhirnya saya mencoba mengambil hatinya. Menelaah apa yang terjadi sebenarnya. Saya yakin anak kecil jarang berbohong, ya meski keyakinan ini bisa saja tidak valid. Kan ini menurut saya saja.


Saya tanya satu persatu apa maksud mimpinya. Saya aamiinkan semuanya. Dia bahagia sekali, tertawa. Kemudian, saya mulai bertanya mengenai apa yang terjadi pada dirinya akhir-akhir ini. Air matanya mulai berderai. Beberapa ceritanya mengakui bahwa dia nakal. Saya ingin menangis rasanya, namun saya tahan dan memilih menguatkan dia.


"Kamu memilih memecah kaca itu kenapa dik?"


"Lah, ibu saya yang mendahului"


"Memangnya ibu kamu ngapain?"


"Kan saya ada PR sekolah, harus dikumpulkan. Lalu ibu memerintah untuk segera dikumpulkan. Saya menolak, karena sepeda saya jelek. Teman saya kemarin mengejek saya, saya menjadi malu dan sedih" lanjutnya dengan air mata yang diiringi sesegukan.


"Kamu dibilang apa sama temenmu itu dik?"


"Katanya cagaknya mau copot. Jelek pokoknya. Saya jadi marah dan malu. Semenjak itu, saya gamau pake sepeda".

"Sedangkan ibu menyuruh saya mengumpulkan PR dengan sepeda itu"


"Lalu?" Saya sambil mengelus punggungnya.


"Saya minta beli sepeda pada ibu, lalu ibu marah-marah dan menolak permintaan saya". Katanya mendengus.

"Padahal ibu sudah janji" katanya menambahkan.


"Saya marah. Saya ngomel balik dan kesal".


"Ibu mengancam akan mengundang teman-teman saya untuk menonton kemarahan saya".


"Di situ saya tambah marah"


"Saya benturkan saja tangan saya ke kaca, berkali-kali" tidak lupa diiringi suara segukan.


"Ibu tambah mengancam akan memfoto dan mengirimkan lewat WA teman-teman dan grup sekolah, agar saya malu"


"Saya jadi tambah marah"


"Akhirnya kaca itu pecah"


Saya terus menahan air mata yang hendak jatuh. Sang anak sesegukan dan menjelaskan lebih lanjut.


"Kamu katanya pernah mecahin piring, itu kenapa dik?"


"Lah, saya lagi main sama adik. Adik memukul saya duluan, saya pukul balik karena kesal.

Terus bapak malah memukul bagian paha saya dengan keras. Sakit. Akhirnya saya pecahin piring" katanya sambil menunjukkan pahanya.


Sang anak sesegukan keras sekali. Seperti mengulang rasa sakit itu kembali. Saya sudah tidak tahan. Banjir sudah mata saya dengan kesedihan. Saya peluk dia, saya tenangkan kemarahan dan luapan emosinya.


Lalu saya teringat mengenai mimpinya memiliki keluarga yang tidak menyembunyikan rahasia. Saya bicara pelan-pelan.


"Maksud mimpi ini apa kah dik?"


"Jadi waktu itu saya kelas 3. Saya mau berangkat sekolah. Ibu dan bapak tidak ada yang mau mengantarkan saya. Saya nangis. Mereka diam-diaman"


"Bapak ibu, lalu bertengkar dik?"


"Iya, sepulang sekolah" katanya sambil terisak.


"Sering begitu?"


"Enggak. Hanya dua kali, waktu kelas 3 dan kelas 4. Waktu kelas 4 kan saya dimarahi ibu saya, lalu bapak tidak terima. Bapak marahi ibu. Saya bilang sudah gapapa pak, tapi bapak terus marah. Akhirnya mereka marah-marahan. Namun terus baikan".


Saya peluk erat tubuh anak kecil ini. Rasanya begitu menyayat hati. Lihat bukan? Ada alasan mengapa anak berbuat nakal. Saya terus mendalami kasus ini.


Pada penuturan yang pertama sang anak. Ia mengatakan bahwa ia malu karena temannya mengejeknya. Sedemikian besar pengaruh bullying. Ia membawa kemarahan dan rasa malunya sampai ke rumah. Sebenarnya dia mencoba untuk mengungkapkan perasaan sedihnya atas perlakuan teman-temannya kepada orangtuanya. Tapi sayangnya dia tidak bicara secara nyata. Ungkapan keluh kesahnya melalui permintaan berupa sepeda. Karena ibunya tidak tahu, jadi marah. Menganggap sang anak banyak maunya.

Padahal? Anak itu tertuntut oleh lingkungan yang tidak sehat. Ia di-bully tapi memendam diam-diam. Mungkin sang ibu banyak masalah, jadi emosinya tidak terkendali.


Tidak hanya di situ saja. Sang anak mengungkapkan bahwa "padahal ibu sudah janji". Itu artinya permintaannya bukan hanya sekali mengenai sepeda. Karena ibu berjanji, maka sang anak terus menagihnya. Saat permintaan itu tidak terwujud, ada luka di hati sang anak yang lagi-lagi ia tidak ungkapkan, tapi ia salurkan dalam bentuk kerusakan. Ia membenturkan tangan ke kaca sebagai bentuk kemarahan tidak terpenuhi janji ibunya.


Pada kasus yang kedua. Ia membanting piring.


Pernah mendengar (?)

"kalau anak dikasari, maka ia akan menjadi kasar balik?"


Ya. Anak adalah bentuk respon dari lingkungan. Pembentukan karakter sangat ditentukan oleh peran pengasuh dimana artinya bisa jadi orang tua, bisa juga orang lain. Pokoknya yang berperan besar bagi anak dari kecil menuju dewasa.


Ketika dia mencoba melakukan pertahan dengan melawan pukulan adiknya, yang terjadi malah ia dipukul oleh ayahnya. Mungkin benar, ayahnya melindungi sang adik. Tapi lagi-lagi perasaan anaknya menjadi terluka.


Tindakan kekerasan direspon oleh anak, diinternalisasi dirinya, dan akhirnya dia memilih memecahkan piring. Tidak ada objek yang tepat lagi. Karena apabila ia memukul adiknya lagi, ia akan dapat pukulan yang kedua kali dari ayahnya. Begitulah kira-kira pemikirannya.

Kan kalau memecahkan piring, tidak ada lagi yang menyakitinya. Seolah kemarahannya diutarakan melalui bentuk piring yang retak seperti hatinya.


Kemudian pada kasus yang terakhir. Tentang mimpinya yang memiliki keluarga tanpa "rahasia". Dia mengalami kebingungan yang terjadi pada pertengkaran kedua orangtuanya. Dia menganggap bahwa saat mereka bertengkar, maka ada rahasia. Makanya, sang anak bermimpi agar itu 'tidak terjadi' di hidupnya. Melihat kedua orangtuanya diam-diaman saja dia sudah menangis, apalagi jika itu terjadi pada kehidupan menjadi orangtua di dirinya kelak.


Satu lagi yang menurut saya menarik. Ketika saya tanya berapa kali bapak ibunya bertengkar. Ia jawab dua kali. Tegas, ingat waktu kapan, detail dalam menjelaskan. Saya jadi berpikir, wah ingatan anak tidak bisa hilang begitu saja mengenai 'ketidakbahagiaan'. Padahal ia 'hanya' melihat dua kali pertikaian kedua orangtuanya, namun berdampak buruk bagi pengembangan dirinya. Terbukti dia menjadi abusive dan suka marah-marah. Bahkan ia ingat waktu kapan, sedang apa, sampai bagaimana ucapan-ucapan yang terdengar di telinganya.


Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ya, saya rasa ungkapan itu benar. Bukan mengenai rupa atau karakter saja. Tapi pada perilaku anak yang akan mirip dengan orangtuanya.


Apabila orangtua pernah memukul, yang terjadi pada anak juga demikian. Meski kekerasan itu kecil, seperti mencubit, respon anak tetap berdampak pada psikologisnya. Ia akan menganggap bahwa 'tidak apa-apa' merusak sesuatu, karena orangtuanya saja begitu.


Apalagi untuk anak kecil yang belum matang fase tumbuh kembangnya, ia masih sulit membedakan mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak.


Maka, diperlukan perhatian khusus bagi orangtua atau calon orangtua. Kalau ada sikap yang berlebihan dan berbeda dari pada biasanya pada sang anak, maka tanyakan, ajak diskusi mereka. Pembicaraan yang jujur dari hati ke hati membuat hubungan anak-orangtua menjadi saling mengerti, saling memahami.


Tidak ada salahnya menanyakan anak kegiatan apa saja yang membuatnya bersedih atau berbahagia. Sebagai orang dewasa, kita tentu paham bagaimana cara menanggapinya. Berikan nasihat, semangat dan dukungan agar anak merasa aman. Karena saat kondisinya sudah terancam dan tidak bisa mengungkapkan itu, hal-hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi terus berulang.



***



Setelah melihat tindakan yang terjadi pada si anak abusive , kita jadi sedikit sadar. Ada peran orang tua yang keliru. Lalu jadi berpikir juga,


"Mengapa orangtua melakukan kekerasan pada anaknya?"


"Mengapa demikian?"


"Apa penyebabnya?"





Kita berbicara secara medis, ibu hamil mengalami kondisi hormonal yang tidak stabil. Selama kehamilan, mood swings bisa terjadi kapan saja, dilampiaskan kepada siapa saja. Pada kasus demikian, kondisi ibu yang suka marah-marah bisa diprediksi karena hal ini. Menurut penuturan beberapa mitos orang Jawa, wong meteng biasane cokan sebel yang bermakna "orang hamil biasanya tidak suka akan sesuatu" hal ini disebut sebagai naluriah orang hamil.


Ada ibu hamil yang tidak menyukai aroma masakan bawang, aroma tubuh suaminya, tidak suka melihat suaminya, dan bahkan tidak suka terhadap anak-anaknya yang lahir sebelum anak yang ada di kandungannya. Mereka jauh lebih sensitif dari hari-hari biasanya.


//


Saya jamin seratus persen, tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya merasa sedih. Tidak ada orangtua yang membenci anaknya dengan hati yang rela. Semarah-marahnya orangtua, ia tetap bisa memaafkan, meski terkadang ucapannya menyakitkan. Tidak ada mantan anak dan mantan orangtua, itu menjadi bukti bahwa aliran darah tetaplah ada.


Kondisi setiap orangtua tentu berbeda-beda, mulai dari segi ekonomi, sosial, budaya hingga norma yang mereka ajarkan ke anak-anaknya. Hal ini yang menjadi perbedaan dari cara mereka mendidik. Tidak ada manusia yang sempurna, begitulah sama halnya dengan orangtua.


Ini adalah sebuah refleksi diri. Cermin sebagai orangtua yang diamanahi Tuhan untuk menjaga titipan berupa anak.


Tidak ada pembenaran bahwa anak yang agresif, nakal dan suka merusak adalah benar. Saya hanya mengungkapkan mengapa mereka melakukannya. Sudah saatnya kita bertanya, apakah anak-anak di sekitar kita sudah bahagia?



Teruntuk renungan kepada; yang akan menjadi orangtua atau yang sudah benar-benar memilki buah hati tercinta.



---

Comments


Commenting on this post isn't available anymore. Contact the site owner for more info.
Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Facebook
  • Tumblr

©2020 by Nurrani Aprilia. Proudly created with Wix.com

bottom of page