top of page

Gak Boleh Beda, Sudah Diajarkan di Sekolah!

  • Gambar penulis: Nurrani Aprilia
    Nurrani Aprilia
  • 20 Jan 2021
  • 3 menit membaca

Menurut saya, pendidikan kita sebenarnya 'mengkotak-kotakkan' pikiran secara tidak langsung. Sebenarnya saat di sekolah, kita dituntut untuk selalu sama, dalam hal apapun. Mulai dari pakaian, bersikap, cara berpikir hingga menjawab pertanyaan.


Yaa, itu emang fungsi sekolah kan? Menyamakan konsesus sosial. Saya jawab, iya. Tapi ada beberapa hal yang menurut saya belok, dan perlu diluruskan lagi.



Ceritanya mulai dari sini.



Suatu hari, saya kedatangan keponakan dan dia menginap untuk beberapa waktu. Di saat pandemi, semua kegiatan tentu dialihkan ke serba online. Mengingat keponakan saya ini masih di sekolah dasar, jadi media pembelajarannya lewat WhatsApp. Ngomong-ngomong belajar daring begini, sudah menjadi rahasia umum bahwa orangtua kerepotan sebab ditambah beban untuk 'menjadi guru' anaknya di rumah. Yaa, bisa dibilang menjadi tambahan stress lah untuk orangtua.


Oke lanjut. Di media WhatsApp tersebut, guru tidak memberi penjelasan apapun. Isinya, setiap hari murid hanya diberi tugas. Pernah saya tanya ke keponakan saya ini,


"Kamu sama temen-temenmu memangnya nggak pernah dikasih penjelasan kah?"


"Gak pernah, makanya aku kadang bingung. Paling matematika, itupun kalau ada yang tanya di grup" jawabnya seperti kesal.


Saya manggut-manggut. Sebenarnya sambil heran. Eh pandemi ini kok merubah total metode pembelajaran ya? Apalagi sebagai siswa sekolah dasar, dimana pengetahuannya belum mumpuni. Mereka dituntut mandiri. Wong saya yang sudah mau tugas akhir aja kalau dosen nggak ngejelasin aja bingung, ambyar kalo baca materi sendiri. Ini sekolah dasar, syukur-syukur kalau orangtuanya banyak waktu luang dan ikut mengajari si anak. Kalau tidak, bagaimana (?).



Lanjooot..



Lalu saat itu keponakan saya ada tugas. Kebetulan waktu itu, saya sedang sibuk mengerjakan proposal program kerja. Jadi saya tidak terlalu membimbingnya.


Dia menanyakan beberapa soal. Saya jawab,


"Kamu udah baca kan? Di bacaan itu ada nggak?"


"Udah semua, tapi nggak ada te" katanya.


Ya karena saya sedang hectic dengan kerjaan saya, saya percaya saja. Jadi saya jawab pertanyaan itu menurut pengetahuan saya.


Kemudian ia selesai mengerjakan. Saya coba cek jawaban dan pertanyaannya. Sudah betul.

Selang 5 hari kemudian, gurunya membagi hasil nilai PR itu. Saya cari nilai keponakan saya. Nah, ketemu! Batin saya.


Astaga, alangkah terkejutnya. Nilai keponakan saya paling kecil! Di antara teman-temannya yang lain, hanya adik keponakan saya yang 70. Teman-temannya di kisaran 80-95. Saya jadi malu dong, merasa tidak benar memberi jawaban.


Saya cek lagi bukunya dan soal serta jawaban.


Ternyata jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu ada di soal! Sempat saya kesal kepada keponakan saya, kenapa dia kemarin bilang tidak ada di buku. Lalu saya ingat, keponakan saya ini masih sekolah dasar. Saya maklum, pasti dia masih bingung dengan bacaan yang begitu panjang. Ditambah ia hanya diberi tugas tanpa penjelasan.


Saya teliti lagi jawaban di buku.


"Ini kan, intinya sama saja"


"Cuman gak persis di buku!" gumam saya lebih lanjut.


"Lalu apa yang salah?"


"Apa karena beda kalimat?"


"Kan maknanya sama saja!"


"Ih gimana sih"



Saat itu saya terus merutuk nilai yang menurut saya tidak adil. Masak, cuma beda pengungkapan tidak dibenarkan.


Coba kalian bayangkan, dua kalimat di bawah ini maknanya sama kan?


Bunga yang ada di taman hari ini elok sekali.

dengan

Kembang yang berada di taman hari ini sangat indah.


Ya, jadi jawaban keponakan saya itu beda dari buku. Makanya nilainya lebih kecil dari yang lain.


Berdasarkan catatan dari gurunya:

"Jawaban ini ada di bacaan"


Yah, saya jadi kesal. Mengenai beda cara menjawab saja sudah dianggap salah. Bagaimana tentang perbedaan yang sesungguhnya?


Saya nggak tau ya, di luaran sana seperti apa. Namun pengalaman ini memberikan interpretasi sekolah pada satu hal. Sekolah tidak mengijinkan muridnya untuk berbeda. Meski sebenarnya perbedaan itu sama benarnya.


Mungkin banyak, anak di luaran sana yang mengalami hal sama.


Saya hanya takut, anak-anak nanti jadi tidak berkembang. Imajinasi mereka dibatasi bacaan di buku. Kalaulah mereka punya jawaban sendiri, mereka takut untuk menuliskannya. Yaa, alasannya karena jawaban itu tidak ada di bacaan. Otak yang sedang berkembang untuk mengeluarkan untaian kata menjadi hilang.


Satu lagi, ini juga berkontribusi pada sikap kita terhadap perbedaan. Di saat rata-rata anak menjawab di bacaan buku, hanya ada beberapa anak yang berbeda. Akhirnya ada efek minoritas yang memunculkan sentimen kesalahan. Sama halnya dengan menanggapi 'perbedaan yang nyata', semisal ia memiliki perbedaan agama.


Mungkin saja gurunya di sekolah mengajarkan satu cara sukses yang baik. Nanti, muridnya mengintepretasikan kalau ada selain cara itu maka tidak baik. Begitu kira-kira perjalanan kita mengenai ketidakseragamann.





Ternyata gaboleh beda, memang sudah diajarkan di sekolah kan?



Comments


Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Facebook
  • Tumblr

©2020 by Nurrani Aprilia. Proudly created with Wix.com

bottom of page