top of page

Hujan Kala Itu

  • Gambar penulis: Nurrani Aprilia
    Nurrani Aprilia
  • 14 Des 2020
  • 2 menit membaca

Diperbarui: 15 Des 2020

Aku duduk di bangku taman bersama derasnya hujan, ku biarkan tubuhku terguyur rasa sesal. Tanganku menopang dagu, sambil sesekali bulu kudukku merinding kedinginan. Tanpa payung tanpa mantel hujan. Orang-orang mungkin menganggap ku orang gila. Angin bertiup kencang serta semakin deras saja hujan datang, aku masih duduk setia tanpa peduli basah kuyup menerjang. Sepertinya langit mulai membaik, sementara ketenanganku tak kunjung naik. "Cantik" gumamku melihat sosok perempuan berambut panjang menggunakan dress merah dipayungi lelaki berbaju sederhana. "Mungkin itu ojek payung", pikirku. Ku amati semenjak perempuan itu berjalan sampai di parkiran mobil, sang lelaki tidak menadahkan tangan. Sesuatu diambil dari tangannya, sebuah kunci mobil yang ternyata milik mereka berdua. Anak-anak mereka keluar sedikit, lewat celah jendela. "Mamah, papah!" Begitu kira-kira ku dengar sebutannya. Aku tersenyum malu, menduga remeh lelaki itu. Setelah mobil itu melaju pergi, aku tersentak sadar. Bahwa cinta memang tanpa perlu kadar. Betapapun orang lain mengira, namun siapa yang kuasa. Aku menegakkan tubuhku. Mataku jauh menerawang, perlahan-lahan hujan mereda, senja terbaik mulai menampakkan wajahnya. Air mataku mulai ku kontrol, tangisan ini tak lagi samar seperti tadi; saat hujan deras mengalirkan air dan air mata bersamaan. Tanganku masuk kantung jaket, aku menundukkan pandangan, terisak. Begitu sesak. Aku lekas bangkit, berjalan melewati toko-toko ditambah alunan musik bernuansa galau, aku semakin risau. Aku percepat langkahku, aku ingin menangis di rumah saja, jangan menangis di keadaan terbuka. "Lambat laun, aku pasti lupa". *** Sepanjang perjalanan yang ku ingat hanya kata-kata dari mantan kekasihku beberapa jam lalu. Di sebuah taman ketika mentari masih hangat menyapa bumi. "Far, kita udah nggak cocok lagi. Maafin aku, aku pamit pergi". Dua kalimat singkat tanpa kesempatan untukku menjawab. Dia pergi meninggalkanku dengan rasa sesak yang tiba-tiba melukai hati. Ku lihat dia mendekati sosok wanita lain, aku tersenyum kecil. Ternyata sudah memiliki pengganti sebelum perpisahan ini dilontarkan. Hingga aku terus memaku sendirian. Berpaut dengan kebingungan. Bertanya dengan kekecewaan.

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Facebook
  • Tumblr

©2020 by Nurrani Aprilia. Proudly created with Wix.com

bottom of page