top of page

Orang Puitis, Itu Menye-menye!

  • Gambar penulis: Nurrani Aprilia
    Nurrani Aprilia
  • 16 Des 2020
  • 2 menit membaca


"orang yang suka cinta-cintaan, bucin-bucinan, ampe jadi puitis banget itu kenapa sih? menye-menye tau!". Kata seseorang mahluk astral yang tinggal di bumi.


Sakit sekali rasanya, saat saya mendengar kata-kata yang keluar dari manusia demikian.


Memangnya menjadi puitis yang isinya cinta, salah? Saya rasa tidak.


Saya pernah mengalami ini, bahkan bisa dibilang sering. Katanya saya suka galau, tidak bersemangat, loyo, hidupnya bucin terus. Seolah-olah saya harus tertawa terus kemana-mana. Ke sini hahahaha, ke sana hahahaha, ke situ hahahaha. Memangnya tidak cape mulutnya terus manga?

*curhat, bund.


Lalu saya berfikir, lalu kenapa? Memangnya saya merugikan mereka, saya merenung. Kemudian tersadar, betapa masih banyak orang-orang yang tidak menghargai perbedaan. Bahkan untuk hal kecil, seperti selera makan.


Betapa masih kecil toleransi kita terhadap perbedaan, apalagi mengenai cara kehidupan.


Tentu hal semacam ini sangat disayangkan, mengingat kita hidup di tanah air ini saja sudah beragam.


Saya kadang-kadang juga jadi bingung sendiri, jangan-jangan saya juga begitu. Beda dikit langsung senggol tumpah, nggak cocok dikit langsung tuduh nggak boleh gitu harusnya dan nyenyenye lainnya.


Saya jadi malu. Pasti saya pernah mengatakan

"Kok kamu suka ini sih, kan ini jelek"


"Jengkol itu kan nggak enak"


"Jangan pake baju itu, ngga cocok"



Huaaaa~



Saya jadi teringat, suatu ketika, saya pernah buat postingan di aplikasi pesan hijau. Begini kira-kira.

"Saya sadar manusia tidak pernah lepas menilai dan dinilai. Tapi kita punya piihan untuk menahan menilai dan membiarkan jika dinilai."

//

Artinya?


Memang begitu. Siklus interaksi manusia pasti melibatkan kegiatan menilai dan dinilai. Karena hidup adalah pilihan, menurut saya ini hal mutlak karena tiap hal biasanya memang sudah ketetapan, beberapa kita harus memutuskan. Saat kita dinilai orang lain, yowis biarkan aja. Mungkin dia memang apa adanya, gamblang menjelaskan fakta atas knowledge kepalanya.

--

Tapi eh tapi.. saat kita ngerti rasanya dinilai itu sakit, apalagi dinilai negatif. Maka kita punya pilihan buat menahan menilai orang lain.

Dua hal ini pilihan bukan?



Mungkin, sayangnya orang-orang jomplang melakukan hal-hal demikian.

Udah nggak mau dinilai, tapi kerjaannya menilai.



Iya, saya yang nulis ini juga sama kaya yang baca, yeee ngaku-ngaku ni gw. Masih belajar mengenai perbedaan. Masih suka mencak-mencak kalau dinilai, masih suka menilai karena ke-enggakcocokan, wkwk!




Sebuah refleksi diri.



Semoga kita dijauhkan dari mulut sendiri yang suka menyakiti.




Comments


Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Facebook
  • Tumblr

©2020 by Nurrani Aprilia. Proudly created with Wix.com

bottom of page